Ketika R. A. Kartini Mengenal Agama Buddha


20 April 2021

Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati hari kelahiran Raden Ayu Kartini (Raden Adjeng Kartini), seorang pahlawan nasional perempuan yang merupakan pelopor pejuang hak-hak perempuan. 

Tapi di antara kemeriahan peringatan hari Kartini dengan tradisi mengenakan pakaian daerah, tidak banyak orang, khususnya umat Buddha yang mengetahui bahwa sedikit banyak pemikiran wanita kelahiran Jepara tahun 1879 ini dipengaruhi oleh Agama Buddha. Pengaruh Agama Buddha dalam pemikiran Kartini terlihat dari penggunaan istilah-istilah Buddhis dalam bahasa Belanda seperti kata ” Boeddhabeeld ” (arca Buddha), ”Boeddha-kindje” (anak Buddha), ”Boeddhisme” (Buddhisme) dan ”Bodhisatwa” dalam beberapa suratnya kepada teman-teman pena asingnya dari Belanda, yang terkumpul dalam buku Door Duisternis tot Licht (Dari Gelap Terbitlah Terang) tahun 1912 yang dikumpulkan oleh J. H. Abendanon.

R. A. Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904).

Dalam suratnya kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, istri J. H. Abendanon, pada 27 Oktober 1902, Kartini menceritakan bagaimana ia mengklaim dirinya sebagai seorang anak Buddha dan karenanya ia tidak memakan makan hewani, dan ia merasa kasihan dengan ayahnya yang menginginkan dirinya sebagai bukan anak Buddha. ”Ik ben een Boeddha-kindje, weet u, en dat is al een reden om geen dierlijk voedsel te gebruiken….” – ”Saya adalah anak Buddha, Anda tahu, itu alasan saya tidak memakan makanan hewani…” (Door Duisternis tot Licht, hal.277) Pengetahuan dan informasi yang didapat oleh Kartini mengenai Agama Buddha ia peroleh dari pergaulannya dengan masyarakat etnis Tionghoa dan dari buku-buku yang ia baca. Pergaulannya dengan etnis Tionghoa dapat dilihat dalam suratnya kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, istri J. H. Abendanon, pada 27 Oktober 1902, saat Kartini menceritakan dirinya yang sakit parah saat kecil dan menjadi sembuh berkat petunjuk temannya yang berasal dari etnis Tionghoa. Pada masa itu Agama Buddha baru bangkit kembali setelah tertidur sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, dan diperkenalkan kembali di Nusantara dalam balutan tradisi Tionghoa bersama dengan agama tradisi Tionghoa lainnya seperti Tao dan Kong Hu Cu. Pergaulannya dengan etnis Tionghoa yang membawa budaya serta agamanya inilah yang mengarahkan R. A. Kartini untuk mengenal Agama Buddha yang kemudian memberikan inspirasi bagi pergolakan batin dan perjuangan bagi kaumnya. Dalam surat-suratnya, sebanyak 3 surat ia memuji sebuah buku karya Harold Fielding (1859-1917) dari Belanda berjudul ”de Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa; Inggris: Soul of a People) yang diterjemahkan oleh Felix Orrt ke dalam bahasa Inggris.

Kartini nampaknya terkesan dengan buku karya H. Fielding tersebut sehingga ia perlu mengungkapkannya kepada tiga orang teman asingnya, di antaranya dalam surat kepada Dr. N. Adriani, 10 Agustus 1901; kepada Hilda Gerarda de Booij-Boissevain, 26 Mei 1902; dan kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, 5 Juli 1903. Buku ”de Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa) sendiri berisi mengenai pengalaman dan pengetahuan si penulis (Fielding) mengenai ajaran Agama Buddha dan bagaimana masyarakat Birma (Myanmar) menerapkan, menerjemahkan ajaran Buddha tersebut dalam kehidupan mereka. Yang menarik dari buku tersebut adalah terdapat beberapa hal pembahasan mengenai perempuan, di antaranya adalah mengenai kedudukan kaum perempuan yang secara umum setara dengan pria, mengenai perkawinan yang dianggap murni urusan duniawi bukan urusan agama, dan peran perempuan dalam keagamaan pada masyarakat Birma yang ”lebih religius tapi tidak serius” yang berbanding terbalik dengan kaum lelakinya. Tidaklah mengherankan jika dari pembahasan seputar kaum perempuan dalam buku bernuansa agama Buddha karya Fielding tersebut Kartini mendapatkan inspirasi dan dorongan bagi perjuangannya. Seperti yang diyakini oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ”Panggil Aku Kartini Saja”. Pemikiran-pemikiran Kartini yang kritis yang tertuang dalam surat-suratnya merupakan pemikiran seorang perempuan Indonesia yang melampaui jamannya. Pemikirannya tersebut bukan hanya seputar emansipasi perempuan tetapi juga sebuah usaha pencarian nilai-nilai spiritual dalam beragama. R. A. Kartini wafat di Rembang, Jawa Tengah pada 17 September 1904 di usia 25 tahun, setelah empat hari sebelumnya melahirkan putra pertama dan terakhirnya.[Bhagavant, 23/4/13, Sum]